RADARcenter, Palembang — Polemik dugaan penyalahgunaan wewenang oleh seorang kepala sekolah di salah satu SD Negeri kawasan Talang Kelapa, Palembang, terhadap pegawai P3K perempuan berinisial DF, terus bergulir.
Setelah pemberitaan awal terbit, wartawan Radar Center mencoba meminta klarifikasi dari kepala sekolah dan pihak Dinas Pendidikan Kota Palembang, namun hingga kini tidak ada tanggapan resmi dari keduanya.
Alih-alih memberikan penjelasan, justru muncul informasi baru dari suami korban, yang mengaku bahwa istrinya mendapat telepon langsung dari oknum kepala sekolah. Dalam percakapan tersebut, kepala sekolah diduga meminta agar DF meminta pihak media menghentikan pemberitaan, sekaligus menyebut bahwa masalah dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
“Dia bilang, masalah ini bisa dibicarakan baik-baik, dan kalau perlu kami disuruh datang ke dinas menemui Pak Amirul,” ungkap suami DF kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).
“Dalam percakapan itu, dia juga bilang, ‘Yo kagek kito temui Bu Ulfa, kito ke dinas kito temui Pak Amirul’,” tambahnya.
Menurut suami DF, pernyataan tersebut keluar setelah istrinya menyampaikan keberatan atas penugasan yang diberikan oleh kepala sekolah.
DF yang seharusnya bertugas sebagai operator layanan operasional sesuai SK Wali Kota Palembang Drs. H. Ratu Dewa, M.Si., dan surat dari Dinas Pendidikan Kota Palembang, justru ditempatkan sebagai penjaga sekolah.
“Tidak selayaknya istri saya dikerjakan seperti itu. Dia P3K, tapi disuruh memperbaiki kursi rusak, nyapu, ngepel, nyuci piring, bahkan bersihkan toilet sekolah. Itu sangat jauh dari penugasan sesuai SK,” ujar suami DF dengan nada kecewa.
Hingga kini, belum diketahui siapa sosok Amirul yang dimaksud kepala sekolah, serta apa kapasitasnya di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Palembang. Sejumlah sumber menyebut, Amirul dikenal cukup dekat dengan oknum kepala sekolah tersebut.
Temuan di Lapangan: “Oh, Biaso Itu Terjadi di Banyak Sekolah”
Dalam liputan terpisah, saat wartawan Radar Center meliput kegiatan Duta Lingkungan Hidup Kota Palembang, seorang pegawai Dinas Pendidikan Kota Palembang yang enggan disebut namanya mengakui bahwa praktik semacam ini bukan hal baru di sejumlah sekolah negeri di Palembang.
“Oh… biaso itu, sering terjadi itu,” ujarnya pelan.
“Kepala sekolahnya pasti (menyebutkan gender) kan?”
“Iya, betul,” sahut wartawan media ini.
“Iya, sudah sering dan banyak yang seperti itu,” tutupnya, sembari berpamitan menuju panitia kegiatan.
Pengakuan tersebut memperkuat dugaan bahwa fenomena serupa bukan kasus tunggal, melainkan pola sistemik yang masih terjadi di sejumlah sekolah di bawah naungan pemerintah daerah.
Refleksi Publik: Feodalisme di Dunia Pendidikan
Kasus ini kembali menimbulkan pertanyaan mendasar:
Apakah jasa seseorang dapat menghapus hak orang lain yang sah untuk menolak perlakuan semena-mena?
Apakah sistem feodal masih layak hidup di dunia pendidikan di tengah era digital yang menuntut keterbukaan?
Ketika jabatan digunakan untuk menekan, dan hubungan personal dijadikan jalan keluar dari persoalan struktural, maka dunia pendidikan justru sedang kehilangan rohnya sebagai ruang pembelajaran nilai keadilan dan integritas.
Publik tentu berhak menilai.
Dan keheningan dinas terkait terhadap kasus ini menjadi cermin: apakah dunia pendidikan Palembang benar-benar siap melepaskan warisan feodalisme yang mengekang profesionalisme. (*Adi)





















