RADARcenter, Mandailing Natal — Proses klarifikasi Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal terhadap dugaan penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Simpang Koje tahun 2023–2024, berubah menjadi sorotan tajam publik (25/06/2025).
Bukan hanya substansi kasusnya yang dipertanyakan, tetapi juga kehadiran seorang anggota DPRD Madina dari Fraksi PKS, Ahmad Yusuf Nasution, yang ikut mendampingi langsung kepala desa saat masuk ke ruang pemeriksaan.
Menurut Irban Syukur Siregar, Ahmad Yusuf mengaku hanya “mengantar adiknya.” merujuk pada kepala desa yang diperiksa.

Namun kenyataan bahwa ia ikut masuk ruang klarifikasi menimbulkan tanda tanya besar soal netralitas, etika politik, dan potensi intervensi kekuasaan.
Publik pun menggugat:
Apakah Ahmad Yusuf diundang secara resmi oleh Inspektorat?
Apa kapasitas hukumnya dalam proses tersebut?
Bukankah kehadiran anggota legislatif dalam audit eksekutif desa adalah bentuk intervensi tidak etis?
Bukan hanya kehadirannya yang dipersoalkan, namun juga pernyataannya yang dianggap tak layak dan melecehkan profesi wartawan.
Saat media mencoba mengonfirmasi hasil klarifikasi, Ahmad Yusuf malah menjawab ketus dalam bahasa Mandailing: “Ho kan marsapa, jadi inda dong,” yang berarti: “Kau kan bertanya, jadi tidak ada.”
Padahal pertanyaan itu ditujukan kepada kepala desa, bukan kepada dirinya.
Ketua Gerakan Pemuda Mahasiswa Simpang Sordang (GPM SimSor), Rizal Bakri, sebagai pelapor dugaan penyimpangan APBDes, menyampaikan sikap tegas:
“Saya percaya Inspektorat akan tetap profesional. Tapi kehadiran Ahmad Yusuf dalam pemeriksaan justru mengganggu proses dan mencederai kepercayaan publik.”
Ia mengingatkan bahwa DPRD seharusnya menjadi garda pengawasan, bukan pelindung terhadap pelanggaran.
Bila wakil rakyat justru terkesan membela penyimpangan, fungsi pengawasan itu sendiri patut dipertanyakan.
Kini, masyarakat menanti ketegasan dan independensi Inspektorat.
Apakah mampu berdiri netral dan profesional, atau justru tunduk pada tekanan politik? Karena jika institusi pengawas seperti ini tak lagi dipercaya, maka harapan akan akuntabilitas keuangan desa pun ikut pudar.
Inspektorat harus jadi benteng terakhir kebenaran bukan ruang kompromi kekuasaan. (*Magrifatulloh)