RADARcenter, Palembang — Dunia pendidikan kembali diwarnai ironi. Seorang alumni SMA Negeri 22 Palembang berinisial M.I.D, lulusan tahun 2019, harus menghadapi kenyataan pahit: ijazah aslinya ditahan sekolah selama hampir enam tahun hanya karena menunggak pembayaran SPP dan iuran laboratorium komputer selama lima bulan.
Meski begitu, keterbatasan ekonomi tak menghentikan langkah M.I.D. Dengan hanya bermodalkan fotokopi ijazah, ia tetap berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Ia diterima di UIN Raden Fatah Palembang melalui jalur undangan prestasi, menyelesaikan studinya dalam waktu 3,5 tahun, dan lulus dengan predikat cum laude.
Namun prestasi gemilang itu seolah tak berarti ketika M.I.D mencoba melangkah ke dunia kerja. Ketiadaan ijazah asli menjadi penghalang besar.
Banyak perusahaan dan instansi menolak lamaran kerjanya karena tidak bisa memenuhi syarat administrasi dasar: dokumen ijazah yang sah.
Orang tua M.I.D pun angkat bicara. Kepada wartawan, mereka mengaku telah berulang kali menghubungi pihak sekolah dan bahkan mendatangi langsung, namun ijazah anak mereka tetap belum diserahkan.
Sekolah bersikeras menahan dokumen tersebut hingga seluruh tunggakan diselesaikan.
Keterangan dari pihak sekolah justru memperkuat dugaan bahwa praktik seperti ini telah menjadi kebiasaan. Wakil Kepala Humas SMA Negeri 22 Palembang, yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah di tempat yang sama, saat dikonfirmasi pada Kamis (7/8/2025) menyampaikan pernyataan mencengangkan:
“Dulu saya waktu sekolah, ijazah tidak dianggap penting. Mungkin sekarang pun begitu untuk siswa-siswa kami.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa masih ada pola pikir ketinggalan zaman yang melekat di dunia pendidikan, di mana ijazah dianggap sepele, padahal kini menjadi dokumen vital untuk melanjutkan pendidikan maupun memasuki dunia kerja.
Kasus yang menimpa M.I.D menjadi cermin kelam dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya berpihak pada siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Praktik penahanan ijazah karena alasan tunggakan seharusnya segera dievaluasi, bukan lagi dibenarkan.
Publik berharap Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan segera turun tangan dan mengambil langkah nyata untuk menghentikan praktik seperti ini.
Jika tidak, isu ini sebaiknya dibawa ke Komisi V DPRD Provinsi Sumsel guna dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penahanan ijazah di sekolah negeri.
Sudah saatnya pendidikan negeri hadir untuk memberi jalan, bukan justru menghalangi.